D2: Kenapa Populer?

Baja yang sudah ada sejak Perang Dunia I. D2. Toolsteel semi-stainless yang populer dipakai untuk mata potong, dan diproduksi ulang dengan penamaan berbeda-beda oleh banyak pabrik baja. Jepang bikin Hitachi SLD dan SKD11, Jerman bikin 1.2379, dan lain-lain. Pun banyak supersteel yang dibangun dari komposisi dasar D2, seperti Cruwear, Elmax, dan lain-lain. Bahkan dibuat pula varian supersteel dari D2 itu sendiri: CPM-D2, D2 dengan proses powder metallurgy, dan PSF27, D2 dengan proses spray forming.

Apa artinya semi-stainless? Pada sebuah batasan antara ‘carbon steel’ dengan ‘stainless steel’, kita memiliki patokan kandungan Chromium pada angka 12%. Dibawah 12% baja tidak memiliki properti ‘stainless’ sementara diatas 12%, baja memiliki properti ‘stainless’. D2 memiliki kandungan chromium pada angka 12% pas, membuatnya ‘semi-stainless’. Alias, tidak terlalu stainless, namun juga tidak mudah berkarat seperti carbon steel pada umumnya.

Meskipun sudah dikenal sejak era perang dunia I, D2 sendiri baru mulai digunakan di pisau pada tahun 1960an. Dan puncaknya pada tahun 1990an dimana banyak knifemaker mulai mempopulerkan D2, sebagai alternatif 440C, dengan properti edge retention D2 yang lebih tinggi (lebih awet tajamnya D2). Salah satu knifemaker yang terkenal karena racikan pisau dengan bahan D2 nya adalah Bob Dozier.

Saya pribadi punya perasaan campur aduk dengan D2. Pada production piece seperti Enzo Camper dan Birk, Two Sun Garuda, Ka-bar Dozier D2 (yang saya lupa modelnya karena dah lama banget), D2 betul-betul menyenangkan untuk digunakan dan maintenance mudah. Di satu sisi D2 memiliki kecenderungan untuk chipping memang, karena kerasnya (saya merasa D2 optimal di Hrc 60-62) dan mikrostruktur D2 sendiri- dimana chromiumnya terikat membentuk karbida besar -akibatnya memiliki mata potong yang agresif dan keras, dengan minusnya mudah tumpul karena getas di mikrostruktur tersebut tadi.

Dan, pada custom piece, yang mana nyaris semua dari maker lokal kita, hasilnya sangat bervariasi. Setidaknya ada 4-5 bilah milik saya dari 2 knifemaker lokal kita yang saya bisa bilang memiliki heat treat yang pas. Tidak pernah saya bandingkan langsung, namun saya rasa sebagus heat treat D2 pada Enzo Camper saya. Lain itu, ada mungkin 10+ bilah dari banyak knifemaker Indo yang lain, antara overharden, tapi kebanyakan underharden. Dari diskusi dari teman-teman sesama penghobi, hal ini karena pada saat itu tungku pembakaran yang mampu hit suhu tinggi dan stabil masih sedikit dan tidak terjangkau di kalangan maker kita. Jadi proses HT D2 menggunakan blowtorch, dan suhu dari blowtorch tidak dapat dihitung/kalibrasi. HT berdasar feeling. 3-4 tahun terakhir, saya sudah tidak pernah pesan pisau bahan D2 lagi, karena kebutuhan saya sudah berubah. Kecuali untuk pisau hunting/skinning untuk gift, karena menurut saya D2 performa sangat baik untuk skinning rusa contohnya.

Mengasah D2 sendiri, tidak terlalu menyenangkan. Karena Hrc tinggi, D2 prefer diamond stones. Amplas bisa kok, hanya lebih lama. Natural stone? Lebih lama lagi. Kalau pakai asahan dari diamond, ya mudah banget. Namun karena ini pula, edge retentionnya D2 yang properly heat treated juara.

Pada D2 yang konvensional, chromiumnya membentuk karbida yang besar-besar. Jadi, biarpun bisa diasah sampai hair splitting sharpness, karbida pada apex nya akan cepat ‘hilang’, nyangkut di material yang dipotong. Menghasilkan mata potong yang ‘jagged‘ alias microserrated yang bertahan cukup lama. Dan ini sesuatu yang saya sukai, karena tajam nya agresif, pada saat awal-awal saya mengkoleksi pisau ‘premium’ ini, saya banyak memotong tali, karung, dan kardus, sehingga microserration itu berpengaruh besar sekali pada kecepatan kerja saya. Sementara, pada CPM-D2 atau PSF27, karena proses powder metallurgy dan spray forming ini, grain di baja menjadi lebih kecil dan homogen, performa D2 khusus nya di edge retention yang hair splitting sharpnya jauh lebih baik. Dan ketika karbida di edge terkikis, microserration pada working edge nya jauh lebih homogen/rata.

Apakah ngefek sebetulnya edge retention dari proses CPM dan PSF ini? Seperti jargon “it’s a knives’ thing, you wouldn’t understand”… Karena saya senang dengan microserration pada bilah kerja saya, proses powder metallurgy di baja D2 ini sesuai dengan kebutuhan saya pada pisau kerja. Sementara PSF27, dia nyaris berperilaku seperti S30V atau mungkin Elmax di bidang edge retention. Halus. Tidak ada yang salah juga dengan die processed/ingot D2, cuma kalau punya uang lebih dan demen D2 kenapa tidak beli, versi premiumnya D2.

Belakangan, 5 tahun terakhir saya sendiri melihat kita kebanjiran pisau dengan bahan D2. Mayoritas dari China. Civivi dan Twosun mungkin brand yang langsung terpintas di benak saya. Kenapa mereka menawarkan bahan D2? Opini saya ada di mayoritas pembeli produk tersebut yang prefer pisau ‘stainless’ dengan edge retention yang berperforma tinggi. 440C, 14C28N, 8Cr13MoV, AUS-8… tidak ada yang salah dengan stainless tersebut, tapi kalau edge retention mau diadu, bodo-bodoan D2 akan jadi juara. Plus, D2 sudah ada hampir 1 abad, semua pabrikan baja punya produknya, dan harganya murah.

Permasalahannya akan timbul disaat para ‘pembeli baru’ (jangan bilang nubi, diforum banyak yang ngaku nubi tapi ternyata suhu) bingung ngasah pisaunya. Batu ungkalnya nggak mempan. Syukurnya sekarang sudah ada banyak jasa asah profesional + knifemaker favorit anda juga menerima jasa pengasahan pisau. Mek yo iku masa hobi koleksi pisau, kaga bisa ngasah…. Hobi mobil tapi ga bisa ndandani mobil sendiri.

Sekedar penutup, D2 ini semi stainless, bisa bernoda/patina kalau kena oksidasi, meski perawatan mudah. Bersihkan, lap kering setiap selesai dipakai, nggak akan parah-parah amat juga patinanya. D2 dengan HT yang pas, dengan target 60-62 Hrc, akan ideal untuk hampir semua kebutuhan mengiris, dan tidak disarankan untuk menetak/batoning/chopping karena toughness nya relatif rendah — biarpun Enzo D2 saya bisa survive, saya masih beranggapan itu abuse, karena peruntukan baja ini bukan untuk itu. Rust resistance: saya tinggal sebelahan sama laut, gak ada masalah. Minyak mineral gak mahal, kalau pisau kecelup air laut/dipakai bersihkan ikan, tinggal bilas air tawar selesai kok…

Sumber: knifesteelnerds.com; cliffstamp.com

Review: Carothers Performance Knives Kephart

Kephart, adalah nama sebuah konsep pisau garapan Horace Kephart (1862 – 1931), seorang penulis buku, dan juga seorang penggiat kegiatan alam bebas. Kephart dalam berkegiatan alam bebas, selalu membawa/menggunakan sebilah pisau yang pada akhirnya dinamai ‘Kephart’, oleh penggemarnya. Buku karya Kephart yang terkenal diantaranya Camp Cookery dan Camping and Woodcraft.

Pisau Horace Kephart, sumber: KnifeMagazine

Carothers sendiri… Awalmulanya saya tahu produk orang ini dari Bladeforums, saya tidak ingat pasti tahun berapa. 2012 mungkin, atau 2015. Tidak ingat. Pada saat itu, CPK bekerja sama dengan Lorien – orang Bladeforums juga. Desainnya bersih, minimalis namun sekaligus maksimal – saya akan bahas lebih lanjut di review ini – dan juga semacam trofi, harta karun bagi mereka yang bisa membelinya karena diproduksi dalam jumlah kecil dan siapa cepat dia dapat….

Kebetulan akhir Agustus 2021 kemarin, sambil menunggu covid saya sembuh, saya membuka Bladeforums saya. Dan CPK pas banget sedang preorders, dan… akhir September, saya menerima pisau tersebut. Sampel yang akan saya review ini, versi baja CPM 3V dengan heat treat Delta.

Geometri:

Geometrinya menurut konsep pisau Kephart. Minus ‘finger stop‘ atau benjolan pada scale, di tempat telunjuk ada. Saya pribadi senang pada bentuk simpel seperti Kephart, pisau ini kalau boleh dibilang ya ‘memohon untuk dipakai kerja’. Dari awal memang intensi saya membeli pisau ini untuk dipakai, bukan untuk ngumpulin debu di lemari.

Kephart sendiri, menurut opini saya adalah pisau multifungsi. Istilah jack of all trades mungkin tepat untuk pola pisau Kephart ini. Mau food prep, fire making, enak, memuaskan. Tidak heran 2018 kemarin, beberapa pabrikan seperti ESEE, Becker, dan lain lain berlomba membuat pola Kephart.

Bilah:

Bilah pisau ini panjangnya sekitar 12.7 cm, dengan panjang keseluruhan 24.7 cm. Bilahnya lebih panjang dikit daripada gagangnya. Desain bilah yaaa standar Kephart: spear point, flat grind – namun keunikan(?) Kephart versi Carothers ini yaitu adanya bevel ganda pada flat grindnya. Dari spine ke bahu mata pisau ada 2 sudut berbeda. Kelebihan yang bisa saya rasakan, adalah pisau ini slicer yang baik karena tipisnya, dan saat membelah kayu, pisau ini performanya seperti pisau dengan scandi grind. Sejauh ini, pisau ini adalah pisau – non-scandi – top performer saya untuk kegiatan batoning. Sentuhan bagus, meskipun sepintas tampak seperti temper line.

Tip pada pisau ini, spear point namun tidak sampai tajam sekali. Kephart yang original juga dibuat seperti ini untuk supaya pisau ini bisa digunakan untuk mengebor kayu (untuk syarat bikin api, dll). Ohya, spinenya nggak bisa strike ferro-rod. Mesti di modif dulu supaya punya sudut tajam di spine.

Baja:

CPM 3V. Toolsteel bikinan Crucible. Yang mana ditingkatkan performanya dengan metoda heat treat ‘Delta’. Akhirnya disingkat D3V. Buat pembaca yang seneng trivia: Delta Heat Treat ini, saat ini merupakan prosedur yang resepnya eksklusif dimiliki Nathan nya CPK, Dan Kefeller (custom knifemaker), dan mas Guy yang punya Survive! Knives. Boleh baca-baca disini. Hanya tahun 2021 ini, S!K sudah nggak pake Delta HT lagi. Pendek kata karena emang ribet HT nya, apalagi kapasitas produksi S!K berkali lipat CPK. QC nya jadi berantakan…

Sayangnya, saya belum berkesempatan menggunakan CPM 3V “reguler”. Jadi tidak bisa memberikan perbandingan langsung. Dalam promosinya sendiri, Nathan Carothers kasih demonstrasi, dengan sudut asah 20° dps, mampu memotong besi (paku, baut) tanpa kerusakan berarti. Saking pede nya pisau ini pun digaransi seumur hidup dong kalau rusak dalam pemakaian ‘normal’ 🙂

Pada sampel Kephart saya ini, saya dibuat kagum dengan kemampuannya mempertahankan performanya memotong, menyerut, membaton kayu. Kebetulan kayu yang saya pakai adalah kayu besi (merbau), yang cukup banyak di daerah saya tinggal. Kayu ini keras apalagi kalau basah. D3V sudah sebulan lebih saya gunakan dan matanya masih cukup tajam, tanpa ada deformasi berarti. Pada saat yang sama, 1095 (ESEE 3), VG10 (Spyderco Moran), PSF27 (Spyderco Junction), D2 (Enzo Trapper) dalam 1x pemakaian sudah ada deform: chip, roll, you name it.

Kephart nya CPK diproduksi dalam 2 varian baja, satunya AEB-L untuk versi stainlessnya. Saya belum cobain sih AEB-L nya ini. Kelak jika saya pakai bakal saya update deh (karena Carothers bilang AEB-L mereka juga dioptimalkan HT nya)

Handle:

Micarta, bahan favorit saya. Kembali: ‘simpel’ minimalis namun scalenya digurat untuk meningkatkan traksi kepalan tangan ke handle meskipun tangan basah atau kena minyak. Scale micarta ini direkatkan dengan sekrup stainless. Handle nggak pakai lanyard hole, ini bagi saya nilai plus karena saya nggak seneng pake lanyard untuk pisau seperti ini.

Ergonomi:

Enggak ada yang spesial dari ergonominya. Sejauh saya pakai, tidak ada hotspots berarti, saat bikin feathersticks, memang sempat ada hotspot di pangkal telunjuk, saya rasa karena handlenya “semestinya” cekung dikit di area itu. Saya sih tidak terlalu permasalahkan karena pakai gloves dan masalah itu hilang.

Kephart ini, sebagai all-rounder, ergonya pas banget. Jika mau meng upgrade pisau ini, mungkin saya hanya akan mengurangi tebal scale +- 2mm tiap sisi. Tentunya saya belum berani :).

Sheath:

Sama dengan spirit dari pisau ini, sheathnya ‘stupid simple’ yang dieksekusi dengan baik… oya sheath nya dari kydex, dan bagi saya better ketimbang sheath Spyderco… Solid lockingnya, boleh dikata nggak ada goyangnya nih pisau kalau di dalam sheath. Sistem attachment sheath ini dengan drop loop dari bahan nylon keras. Simply work, dan metode ini merupakan sistem carry favorit saya.

Fit and Finish:

Finishingnya pas-pasan menurut saya. Enggak serapi itu juga. Kalau fittingnya saya akui jempolan. 3 pisau dari CPK yang saya miliki, konsisten semua, simpel namun fittingnya pas. Ya sebetulnya refleksi harganya juga. CPK punya lini khusus untuk bilah yang finishingnya top, misalnya model FK2, Behemother, HDFK… dan selisihnya lumayan ketimbang Kephart ini.

Kesimpulan:

Jika memang mencari pisau allrounder, model Kephart layak dikoleksi. Bagi saya, pisau ini ‘pisau terbaik’ yang saya punya untuk urusan kemping, dimana saya butuh pisau yang profil geometrinya cocok untuk food prep dan juga cocok untuk bikin api.

Minusnya pisau ini sebenarnya di ketersediaan barang aja. CPK itu dari dulu udah seperti sekte khusus, pisaunya cuma diproduksi dikit-dikit. Peminatnya banyak. Investment wise, CPK Kephart disimpen mint akan naik atau minimal sama nilainya. Mau dipakai, saya yakin pisau ini bisa diwariskan sampai cucu nya cucu saya…

Kalau soal harga… saya rasa sangat worth it, menurut saya tidak mahal. YMMV.

Review: Spyderco Positron

Positron ini unik. Kolaborasi kedua Brad Southard dengan Spyderco, berdasarkan custom folder bernama ‘Ion’ garapan Southard. Nah nama Ion udah ada yang pake, jadilah dinamain Positron.

Positron adalah pisau lipat kecil, sub 3″, dikeluarkan dengan pilihan CPM S30V – Carbon fiber handle atau CPM S35VN – G10 Orange. Saya suka dengan bagaimana handle pisau ini dibuat berkontur. Itu menjadi nilai plus bagi saya.

Bilah Positron geometrinya lebih seperti spearpoint, ketimbang leaf shaped khas Spyderco. Dengan tebal bilah di 3mm dan full flat grind, pisau kecil ini slicer kecil yang handal banget. Nilai plus Positron yang lain adalah, rasio handle dengan blade yang nyaris sempurna. Artinya anda dapat mata potong banyak ngga tipu-tipu seperti Lil Native 🤭

Untuk baja, seinget saya ini satu satunya baja S35VN dari Spyderco yang pernah kucicipi. Jujur saya ga nemu bedanya dengan S30V. Well saya sendiri belum terlalu mencoba memotong terlalu banyak dengan pisau ini ya, hanya karakternya baja ini di media asah bener-bener mirip dengan S30V. Beda dengan S35VN nya katakanlah CRK yang memang sengaja diberi HRC agak dibawah.

Peletakan jimping untuk jempol juga layak diacungi jempol.
Pada posisi hammer grip, meskipun tangan saya kebesaran. Handle pisau ini ngisi kepalan tangan saya dengan baik.

Soal kenyamanan di tangan, yah desain handle begini dan diberi kontur, it’s a winning combination in my book. Seandainya Positron sebuah fixed blade, tapinya. Kenapa? Kesalahan Spyderco di pisau ini, saya rasa adalah clipnya. Terlalu ‘mekso’ menambahkan wireclip ini… kenapa saya bilang gitu, karena clipnya nggantung di satu sisi.

Tuh dikit ngegantung. Maapken dalamnya jorok

Keluhan lain saya soal Positron adalah jempol saya kegedean untuk bisa akses linerlocknya dengan mudah. Linerlocknya solid btw, sampel yang saya punya bagus banget, positif locknya dan ringan kaga pake sticky lock. Mantep. Cuma ya kalo hobby buka tutup pisau, saya frustrasi karena susah akses lock dengan jempol saya, haha.

Polished G10 untuk scales, dan lihat itu liner lock bar nya sembunyi di dalam

Bagi sebagian user, btw ini nilai plus kok. Artinya aman banget gak ada accidental lock disengage

Saya suka grind linesnya, cakep banget. Bersih. Semlohai.

Fit and Finish. Kalau dari Taiwan udah tau lah pisau ini fit and finishnya gimana. Ekspektasi tinggi. Namun ganjalan saya adalah soal centering. Bagi saya centering untuk bilah diatas 2jt rupiah uda masuk skala wajib center. Positron ini agak miring. Asem. Tapi belum sempat bongkar ya, belum sempat kulik kulik sendiri. Selebihnya, impeccable. Ini dari tahun 2016 lho. Ga ada blade play sama sekali.

Kalau soal action… saya masih berpendapat Spyderco ngga bakat bikin flipper. Real Steel Sea Eagle yang harga retailnya kurang dari separuh harga Positron punya action yang jauh lebih baik dari pisau ini.

Penutup:

Apakah worth the money? Kalau memang suka platform Delica (sub 3″), dan pengen sesuatu yang nampak radikal, futuristik, boleh banget. Positron mungkin buatmu. Fancy urban EDC. Contendernya Positron menurutku, Massdrop Ferrum Forge Gent.

Tapi jika yang dikejar adalah fungsionalitas semata, saya rasa lebih banyak penawaran menarik dari dan selain Spyderco. Misalkan Delica itu sendiri. Atau Benchmade Bugout.

Oya, review ini udah cukup lama ada di limbo drafts saya. Pada saat saya upload review ini… pisau ini sudah saya jual. Alasan jual sebenernya lebih ke faktor clip. Gatel banget saya ngeliat clip ngegantung itu. Tapi semoga si seksi ini bahagia bersama tuan barunya…

Review: Civivi Elementum

Civivi Elementum Micarta – D2 Steel

Civivi. Merk budget knife besutan WE Knife Company. Kalau anda belum kenal WE, inilah merk pisau lipat premium asal China, dengan pangsa pasar pisau ‘mid tech’. Pisau produksi yang sekelas Zero Tolerance gitu dah. Saya suka beberapa model WE namun belum ada yang benar-benar ‘klik’… harganya premium cuy.

Baiknya WE, mereka menelurkan brand Civivi untuk kita kita ini yang pengennya pisau budget yang bagus. Dan salah satu ikon dari Civivi ya pisau lipat Elementum ini. Elementum tersedia dalam berbagai konfigurasi, coated atau plain bilah D2, damascus, dan handle G10, CF, Micarta.

Awalnya saya memiliki Massdrop Gent, besutan Ferrum Forge yang reviewnya pernah saya tulis disini. Gent itu dibuat oleh WE, btw. Saya sangaaaat puas dengan sebuah Gent dan saya melihat Elementum ini seperti versi nggak ‘gentle’ alias kasar daripada Massdrop Gent tersebut.

Kiri: Gent, kanan: Elementum

Dan bener kan, dimensinya mirip, geometri ya sebelas duabelas. Elementum lebih ndut, bulky, lebih kasar di permukaannya, dimana saya kadang merasa Gent ini kurang cocok untuk dipake kerja (haiyaah padahal ya cocok aja kok). Dengan adanya Elementum, Gent jadi pisau celana bahan, dan Elementum merajai kantong jins saya.

Elementum motong steak

Secara desain keseluruhan, saya demen. Nggak neko-neko, sleek, form follows function kind of knife. Hal yang saya temui jarang ada di pisau China lainnya. Mirip dengan WE, identitas brand hanya tampil di pivot sajah…

Logonya gini doang. Enak banget dilihat
Marking D2 nya tipiiis banget

Baja yang digunakan di Elementum saya adalah D2. Baja sederhana yang saya suka bingit. Ketajaman cukup awet dan dari pemakaian dan pengasahan saya, saya cukup yakin heat treatmentnya spot on.

Dibawa masuk hutan

Bilahnya sendiri saya rasa lebih cocok disebut spear point ketimbang drop point. Ini sebuah nilai plus ketimbang si Gent karena tip pisaunya lebih mudah untuk menusuk-mengiris katakanlah lakban pada paket. Duh, jadi mikir jorok kepengen konfigurasi sheepsfoot untuk pisau ini.

Grind yang digunakan hollow grind, dan eksekusinya rapi. Bagusnya lagi, bilahnya bersih… Bersih dari segala marking merek, bahan dan lain lain. Minimalis banget. Info baja di bilah cuma ada di flipper tab nya, ada dilaser ‘D2’ di pisau saya.

Bahan handle adalah liner stainless difinish sand wash/ bead blast, terekspos dengan scales – milik saya scalesnya micarta warna OD Green. Saya suka properti bahan micarta.

Mekanisme kunciannya adalah liner lock. Sangat cukup untuk pisau lipat seukuran ini. Eksekusi lock bar nya juga cakep, mudah diakses dan masih simetris kedua sisi handlenya, nggak ada lock stick, locking masih di 30%-an setelah saya pakai beberapa bulan terakhir.

Video demo pendek

Flipping actionnya pun solid dan mudah. Salah satu pisau flipper yang eksekusinya bagus.

Kompetitor di ukuran yang sama memiliki mata potong lebih sedikit
Delica 4 – Elementum – Para3

Bicara mengenai ergonomi, saya ngefans dengan ergonomi pisau ini. Masuk di middle sized folder, pisau ini dapat digenggam dengan keempat jari saya. Pisau ini juga mengingatkan saya kepada Spyderco Delica 4, pisau lipat ukuran sedang lainnya yang juga fenomenal di tangan besar.

Handle Elementum sederhana dan mampu memenuhi kepalan tangan.

Pocket clip Elementum juga tidak mengganggu genggaman bagi saya. Oya, pocket clipnya cuma bisa dipasang untuk konfigurasi tangan kanan, tip up. Bagi kawan kawan yang kidal mungkin bisa jadi minus.

Pocket clipnya model deep carry clip dengan retensi cukup baik, untuk model micarta saya. Ndak ada keluhan, deep carry clip juga berguna untuk setting low-key urban yang mana orang alergi melihat pisau lipat nongol di saku orang lain. Untuk lanyard, saya prefer tampilan Elementum versi button lock karena saya nggak butuh lanyard di pisau ukuran ini.

Centered

Fit dan Finish… ya saya bisa bilang pisau ini diatas harga yang ditawarkan. Hanya seharga USD 50an, dan di Indonesia sekitar 1 jutaan untuk konfigurasi paling murahnya. Great bargain untuk pisau EDC modern: flipper plus ball bearing pivot.

Saya suka dengan minimnya parts yang ada di pisau lipat ini. Keluhan saya hanya mengenai blade centering. Awal datang memang dead center. Saya membongkar pisau ini karena ada spot karat di bilah dekat handle dan pivot screw nya sering longgar. Ternyata Civivi nggak kasih loctite dipisau ini…

Setelah dibongkar, mesti di tune baut pivotnya sembari menunggu loctite yang saya pasang mengeras. Sebulan dipakai, bilah kembali miring ke satu sisi. Bongkar lagi, pasang loctite baru lagi…

Review: Zero Tolerance 0900

Zero Tolerance 0900

Dari kemarin kemarin rasanya saya tidak pernah membahas Zero Tolerance Knives alias ZT. Fast fact, ZT adalah anak perusahaan dari KAI USA, perusahaan gede yang juga memiliki brand terkenal lainnya seperti Kershaw Knives dan Shun. ZT 0900 adalah sebuah folder hasil kolaborasi ZT dengan knifemaker pisau taktis terkenal Les George, berdasar pisau customnya, Mini Harpy. Mungkin salah satu pisau karya George yang populer adalah Les George VECP.

ZT 0900

Alasan saya membeli pisau ini beberapa tahun lalu adalah era ‘little tanks’ yang sempat populer dengan hadirnya Spyderco Techno. 2013 kalo ga salah. ZT 0900 tampil unik karena cilik dan garang. Cute! Dan kebetulan ada kolektor yang saat itu melego pisau ini dalam kondisi bekas nan terjangkau. Dikasi bonus pula (terimakasih ya Oom). Sayangnya, 0900 sudah discontinued sejak 2017. Saya memperoleh pisau cantik ini di tahun 2017.

Flippernya manteb. Videonya kaku. Takut jatuh nanti penyok harga turun banggg

Hal yang saya suka dari karya seorang Les George adalah dia memiliki identitas di setiap desainnya. Tanpa melihat namanya, saya (dan knife enthusiasts lainnya) bisa tahu mana pisau desain Les George. Itupun tercermin di desain 0900 ini. Simple, balanced. Taktikal tapi nggak mall ninja style. Elegan.

Baja yang dipilih untuk model ini adalah CPM S35VN. Baja stainless yang menurut saya sesuai untuk desain ini. Mudah diasah, dan edge rentention lebih dari cukup bagi penggunaan saya.

Bilah memiliki ketebalan yang mirip dengan Spyderco Techno. Hampir 5mm! Grind tinggi nya sejujurnya tidak membantu apapun dalam hal membuat pisau ini sebuah slicer yang baik. Saya sudah regrind edge menjadi 17° per sisi untuk membantu menjadikan pisau ini slicer yang baik.

Ukuran bilah ‘cukup’ untuk EDC. Dibawah 3″. Dengan drop point plus thumb rest khas Les George, bilahnya sedap dipandang pun enak dipakai kebutuhan motong sehari hari EDC selain potong lakban di paket… bagusan wharncliffe lah kalau sering buka paket.

Material handle adalah sepasang balok titanium yang relatif simetris. Hal yang saya kadang tidak suka dari penawaran pisau ZT adalah kebanyakan framelock tapi scale kanan kirinya beda/tidak simetris. Ini pas kiri kanan titanium.

Centered

Sculpting / kontur pada handle bagi saya, tidak menambahkan grip, atau kesan lainnya selain visual. Pisau ini enak dilihat. Saya menyukai membawa pisau ini karena ukurannya kecil namun terasa solid. Di genggaman, pisau ini pun masih lebih pas untuk saya ketimbang pesaingnya, Spyderco Techno.

Kalau bicara ergonomi, desain 0900 ini enak dipakai. Bahwa saya menggunakan pisau ini sebagai EDC kota/kantoran, artinya saya tidak menggunakan pisau ini untuk waktu lama seharian, hanya sesekali untuk buka paket atau sachet. Sebenernya gak butuh juga handle super ergonomis sih, cuma jika anda berencana pakai pisau ini dalam waktu lama, ya ‘enak’ saja handlenya tapi nggak ‘enak buanget’

Lagian tangan saya gede. Ini pisau ‘3 jari’ buat saya.

Untuk lock-up, sesuai kualitas Zero Tolerance. Nggak ada lock stick, locking bekerja baik banget di posisi lock-up 40%-an dan belum bergeser. Terimakasih kepada steel insert yang terpasang sebagai kontak lockbar nya.

Menurut saya, minusnya 0900 ada di clipnya. Clip yang dipakai adalah clip standar ZT untuk deep carry. Clip ini sih nggak ngganggu grip saya, hanya saya ragu ngantongin pisau ini di celana kain/formal. Kok rawan banget lompat keluar… kalau pakai jins, nggak masalah sih.

Minus lain secara personal adalah penggunaan bearing untuk pivot. Kudu sering ngasih pelumas karena piso kecil ini enak banget di flicking.

Untuk fit n finish nya, standard nya Zero Tolerance. Apik. Saya belum pernah dikecewain ZT di ranah kerapiannya.

Rapijali, maaf pisau nya jorok

Kemudian, layakkah membeli pisau ini? Jika little tanks adalah genre favorit anda, saya rasa pantas lah punya. Pisau ini meskipun sudah discontinued, masih sering saya lihat keluyuran di FJB luar dan harganya tidak setinggi itu juga. Di kisaran 150-200an USD.

Minimalis di logonya, plus banget buat saya

Dan jika nggak, masih banyak pisau yang lebih mantap dari ZT 0900 jika tujuannya hanya untuk EDC urban. Sekian…

Bijak Dalam Membeli Pisau(?)

Kadang saat kita mau membeli pisau di toko online, penjual menyertakan deskripsi yang, rada ambigu khususnya mengenai keaslian barang. Dus, muncullah istilah-istilah sesuai judul diatas. Saya akan mencoba menjelaskan dari perspektif saya akan hobi pisau (dan sebagian hobi saya yang lain secara umum), mengenai istilah yang seringkali muncul tersebut.

Selama saya memiliki hobi pisau ini, selama itu juga sering ada percakapan tentang pisau (yang akan dibeli) ini palsu atau tidak. Sebenernya ada suatu cara paling aman di dunia, beli di toko yang reputasinya jelas. Kalau maunya beli di perseorangan, lempar saja di forum penggiat, apakah si seller ini okay? Minta ‘vouches‘ istilahnya.

Dan kadang muncul pertanyaan seperti: “saya mau beli Spiderko PM2. Cuma harganya mahal. Boleh nggak beli versi OEM nya dulu buat coba coba kalo sudah ok saya beli yang aseli…”

Marilah kita bahas dulu soal istilah ini sebelum lanjut ke cerita tersebut…

  • Ori, Original, asli, ya artinya barangnya beneran, resmi atas merk tersebut bukan dibuat oleh pihak lain dan distempel mereknya. Membeli ori ya artinya mensupport brand tersebut. Dapat garansi juga.
  • Fake, kw, kw super premium dll = palsu. Dibuat bukan oleh pabrik aslinya. Kualitas dipertanyakan dan hampir selalu, jauh dibawah yang ori.
  • Clone, Replica, ini adalah istilah yang membingungkan. Ketika mendengar replika, harusnya ya 99% sama dengan yang asli. Sulit dibedakan dengan yang asli kecuali diperiksa oleh ahlinya. Di para penjual, pisau replika disamain fake.
  • OEM. Singkatan dari Original Equipment Manufacturer. Setahu saya, jarang/sedikit yang benar-benar OEM di dunia pisau. Karena kebanyakan brand saat bikin kontrak dengan pabrik pasti punya pakta integritas untuk tidak membuat ulang sebuah desain yang sudah disepakati… kalaupun ada, produk OEM biasanya mirip sama aslinya, minus logo brand aslinya disitu.
  • Factory Seconds, Blems/blemished istilah yang dipakai untuk produk yang tidak lolos QC/ Quality Control… artinya produk ini ori, tapi karena satu dan lain hal tidak lolos QC dan oleh brand tersebut dijual dengan diskon signifikan, tanpa garansi. Untuk pisau biasanya dianggap cuma ‘rusak’ secara kosmetik (blemish) dan nggak ngurangin performa. Pisau-pisau demikian biasanya dimarking khusus oleh perusahaannya untuk membedakannya dengan yang lolos QC. Bisa di stamp X, bisa di gerus/notch spinenya, dll.

Jadi kalau ditanyain sama temen tersebut. Mau beli PM2 versi OEM (yang saya tahu harganya di 300 ribuan?), saya akan jawab, versi OEM nya PM2 udah pasti nggak ada, dan daripada 300rb dibuang ke produk fake kok ya sayang ya.

Kasus lain seperti Ganzo, Sanrenmu, yang terang-terangan meniru model populer. Sebenernya secara etika bisnis barat itu… ya nggak ada etikanya.

Tapi di China praktik ini legal. Dan nggak melulu sesuatu yang buruk ya, pada kasus SRM 710 “poor man’s Sebenza”, konon Sebenza 21 naik salesnya di US karena orang yang punya SRM 710 jadi penasaran sama Sebenza. Malah ngebantu si brand asli…

Btw menurut saya, SRM, Ganzo, meniru beberapa brand populer bukan berarti barang mereka palsu. Mereka jelas mengeksekusi produknya dengan desain/spek mereka sendiri, tidak bohong soal material, dan harga jelas merefleksikan kualitas mereka. Masuknya ori, barang-barang mereka. Ori Ganzo, ori Sanrenmu dst.

Nah untuk menyikapi hal seperti meniru bentuk dan mekanisme yang sudah populer (yea Ganzo dasar tukang jiplak) dikembalikan ke personal saja. Mau boikot apa mau support… I’m no saint, saya pernah punya jiplakan Ganzo atas Benchmade Bedlam. Itusih saya kecewa sama kualitasnya, tapi untuk harga segitu yah bagus banget 😅… negatifnya saya jadi gak kepengen punya BM Bedlam yang asli karena desainnya gak cocok.

Intinya paragraf diatas adalah vote with your wallet. Voting pake duitmu. Kalau suka barangnya, atau minimal pen ngelarisin lapak temen. Belilah, pake kalau suka, kalau nggak suka kasih buat gift, bikin giveaway ya rame bos…

Nah kalau nggak suka barangnya, yang jualan, perusahaannya karena urusan kode etik, kualitas dll… Ya jangan dibeli… beres. Jadilah bijak dalam membeli… nggak ada yang maksa juga anda mau beli ori, palsu, jiplakan, kawe dll, selama anda hepi ya kenapa nggak.

Tapi jangan bangun opini kalau barang palsu sama bagusnya dengan yang ori… apalagi kalo belom nyoba PAKAI yang ori… ntar kalo ketemu saya elus bijimu pake amplas…

Kalaupun untuk alasan saya ‘pengen coba dulu dengan yang palsu sebelum beli yang ori’; saya berharap dulu ada yang ngasih tau saya untuk nggak belanja yang palsu – palsu.

Buang waktu, buang uang… Karena yang aslipun action, material finish sudah jelas berbeda. Malah membangun miskonsepsi atas desain yang bagus nan laris yang sudah terbukti dan teruji…

Kita sudah punya komunitas kok. Banyak malah. Sudah ada toko fisik yang jualan produk pisau lipat… kalau emang suka desainnya, tapi ga mau rugi karena salah beli, kenapa nggak nanya nanya dulu. Punya temen selokasi, yang bisa didatengi untuk mencoba pisau dimaksud. Datang lah cek cek dulu. Jangan datang terus minta hibah. Alamat dikucilkan kau….

Atau ke tokonya langsung melihat dan mencoba sebelum membeli.

Saya tinggal di Papua Barat. Yang hobi piso ‘bagus’ disini dikiiit. Sampai sekarang kalau penasaran sama desain sebuah pisau, I’ll ask. Di forum Indo atau forum luar negeri. Saya belajar bahasa Inggris demi itu. Kalau ada yang desain saya suka tapi masih menimbang-nimbang, sebelum pandemi saya selalu menyempatkan ke toko pisau langganan saya di Jakarta demi untuk melihat dan memegang langsung juga. Baru memutuskan beli ato tidak. Terakhir beli Spyderco Waterway yang reviewnya ada kemarin. Itu akibat ‘penasaran’…

Dan kalaupun cari pisau yang untuk dipakai. Kalau pisau mahal sayang rasanya dipakai. Lalu beli kawenya untuk dipakai dan yang asli disimpan, saya sempat punya mindset tersebut. Mindset yang SALAH menurut opini saya. Diatas 500 ribu emang sudah mahal karena 500 ribu udah sama dengan seper enam gaji UMR di Kabupaten saya.

Tapi pisau berkualitas, akan mempermudah pekerjaan anda dan dengan maintenance baik bisa awet sampai anak cucu. Pisau 2 juta pun, kalau anda pakai membantu anda setiap hari, selama 1 tahun, perharinya ya cuma 4 ribu perak….

Sama aja seperti anda prefer beli sepeda motor Jepang daripada beli sepeda motor Cina.

Sekian dulu saya rasa. Mohon maapken tulisannya ngalor ngidul. Akan diperbaiki kalau beernya moodnya sudah ada.

Review: Spyderco Waterway

Spyderco Waterway

Hobi lain saya selain mengkoleksi pisau, mengasah, menggunakannya, adalah kayaking. Mendayung. Dan yang memperkenalkan olahraga ini adalah ‘Surfingringo”, moniker seorang kayak fisherman, yang suka nongol di Spyderforums dan Bladeforums yang saya menikmati membaca kisah dia menggunakan pisau-pisaunya. Dari dia saya terinspirasi untuk membeli kayak pertama saya di tahun 2014. Dan memodifikasi Pacific Salt SE jadi mesin fillet ikan.

Pacific Salt SE dengan modif tip runcing

Dan Sal Glesser, owner Spyderco mendengarkan review Surfingringo atas salt series mereka, khususnya atas performa LC200N, supersteel baru anti karat, yang mereka pasangkan di model TUSK. Setelah berdiskusi dengan Lance Clinton yang menyodorkan desain “pisau khusus untuk mancing”; lahirlah Waterway, full fixed blade pertama Spyderco yang menggunakan baja LC200N.

Aqua Salt, digantikan Waterway

Saya nggak suka Tusk (karena ya modelnya nggak praktis untuk kebutuhan saya), dan saya sudah sangat cukup dengan Pacific Salt SE yang saya modif runcing. Saya bukan pemancing, tapi saya tinggal ditempat dimana ikan lebih umum daripada ayam. Saya suka food prepping dan mengiris ikan, jadi fillet itu menyenangkan. PacSalt saya udah lebih dari cukup + masih ada Aqua Salt SE juga. Tapiiii, ini desain Surfingringo! Saya harus punya. Nggak lama kemudian, saya mungkin orang pertama di Indonesia yang punya dan pakai Waterway duluan.

Waterway dijemput di EquatorKnives, Mei 2019

Baja LC200N ini sebenernya adalah substitusi NASA atas biji bearing (AISI 52100). Kita semua knifenut atau awam yaa pasti pernah dengar baja bearing (bijinya) itu baja keras (bisa high Rc) dan cocok untuk dijadikan baja pisau. Nah Zapp, produsen LC200N, awalnya mengembangkan bahan lama yang digunakan NASA – Cronidur 30, baja yang ada Nitrogennya juga dengan proses yang disebut PESR (pressurized electroslag remelting); meningkatkan kemurnian baja, membuat grain pada baja ini lebih halus, dan meningkatkan resistansinya pada karat.

Cronidur30 vs 52100 vs LC200N

Nama lain dari LC200N, Z-FiNit (Zapp Fine Grain Nitrogen Steel).

Cukup dengan penjelasan teknis, LC200N adalah baja yang mungkin menjawab keinginan saya akan rustproof steel namun dengan edge retention yang baik. H-1 dalam plain edge terlalu cepat tumpul. Spyderedge H-1 terasa seperti lightsaber namun potongan ikan saya cukup berantakan karenanya. Plain edge LC200N? Seperti pisau dapur VG10 tapi nggak bakal berkarat…

Waterway diajak jalan jalan

Kenapa saya bilang seperti VG10? Karena menurut saya edge retentionnya LC200N mirip dengan VG10. Dengan pemakaian yang sama, saya merasa demikian. Dan untuk working edge, LC200N bisa lebih lama tahan ketimbang VG10. Kemudahan mengasah LC200N juga saya rasakan demikian.

1095 vs LC200N (ya terlalu ekstrem ya?)

Ketahanan karat pada LC200N, saya tak melihat bedanya dengan H-1. Totally rustproof. Difoto atas adalah kedua pisau camping saya pada sebuah trip 4 malam ke Kepulauan Auri, dan BK-9 sebelumnya satin finish cakep 🙂

Bentuk bilah Waterway; drop point dengan panjang 10cm, memberikan cukup banyak belly yang optimal untuk pekerjaan mengiris. Plus profil tipis, fixed blade ini salah satu pisau dapur – kemping favorit saya. Oke untuk filleting ikan, pisau fillet Victorinox lebih mudah dan proper, hanya Waterway bisa untuk motong tulang ikan juga tanpa takut deformasi mata pisau berarti.

VS Yellowfin Tuna loin (tongkol premium)

Handle Waterway menggunakan G-10. Dan sangat kasar. Sebagai kayaker kadang tangan terasa kebas karena terlalu lama kontak dengan air. Belum bicara kapalan. Mungkin itu juga bagian sang desainer memilih finishing tersebut. Ya, terus terang meskipun tangan saya belepotan lendir dan darah, grip di pisau ini masih 100%. Saya nggak mancing di kayak, jadi cuma proses ikan beli dari pasar di dapur.

Untuk ergonomi, pisau ini belum ada hotspots selama saya dan istri gunakan untuk food prep. Belum pernah sih, saya EDC untuk kegiatan menyerut apalagi memotong kayu. Handle tipis dan nyaman…

Khususnya pada bagian sebelum guard. Dengan recess sesederhana itu, telunjuk jadi lebih mudah mengontrol pisau ini.

Kasar seperti kikir (jorok yo ben…)

Untuk sheath, Waterway datang dengan bawaan sheath boltaron ato kydex dengan attachment G-clip. Sheath sih bagus, seperti biasanya, standar Spyderco, hanya saya pribadi tidak menyukai G-clip belakangan ini karena preferensi saya terhadap sistem dangler untuk membawa pisau di sabuk.

Sheath Benchmade 200 saya pakai karena lebih nyaman untuk bawa pisau ini

Jika digunakan dengan format pabrik, saya rasa Waterway tidak akan nyaman. Saya harusnya mengupgrade sheath dengan dangler, dan tidak saya lakukan dulu sebab pisau ini paling banyak ada di dalam tas anti air saya, atau di dalam hatch di kayak saya. Untuk dibawa saat berkayak, saya masih lebih banyak membawa pisau lipat seperti Pacific Salt atau Native Salt saya, di jaket pelampung saya.

Biasanya, pisau fixed blade masuk di dalam hatch hitam bulat di kayak. Kalau ditempel di tali gini bisa jadi persembahan ke Poseidon nanti

Pada akhirnya, karena saya benci mancing, pisau ini sering juga saya pinjamkan ke teman-teman yang hobi mancing. Review mereka positif, khususnya soal handle dan edge retention, yaa selain takut pisau jutaan jatuh ke laut.

Not even a speck of rust, hari ke 3 di pantai

Apakah worth it dibeli? Sejatinya dengan model yang bisa dibilang standar begini, orang hobi mancing akan bilang mending mereka beli pisau murah dan invest di gear mancing yang lain. Tapi karena saya hobi ndayung, saya suka bermalam di pulau-pulau tak berpenghuni, tinggal dekat laut, + saya hobi pisau, ++ desainernya orang yang menginspirasi saya, saya rasa ya, saya perlu. Kalau anda tinggal di kota besar, nggak hobi yang deket deket laut/sesekali main ke laut, masih sangat banyak pisau yang lebih cocok.

Review: SwampRat Howling Rat

The Howling Rat

I owe this review since 2019. Saya ditawarkan saat itu oleh om Tomo untuk mencoba Howling Rat miliknya, karena saya penasaran SR-101 bagaimana performanya.

Cari kelapa buat dibuka

Sebelumnya, intro. Swamp Rat Knife Works dan Scrap Yard Knife Company, adalah “anak perusahaan” dari Busse Combat, yang terkenal dengan INFI, baja racikan founder nya: om Jerry Busse. Nah kalau Busse Combat model usahanya adalah produksi dan jualan pisau dengan model X dalam kuota tertentu – kemudian tidak memproduksinya lagi; Swamp Rat dan Scrapyard ini jualan model produksi dengan embel-embel “pake sisaan produksi Busse Combat”.

Harga yang ditawarkan pun cukup bersaing, dan “Bussekin” ini sempurna buat beater knife. Pisau untuk dipake, disiksa. Karena pricetag Busse sendiri banyak orang merasa sayang memakainya…

Howling Rat dan Large Seb 21. Ukurannya mirip

Howling Rat ini merupakan pisau Bussekin keempat yang pernah saya pegang/pakai. Dan cukup nostalgik bisa mencoba handle ResC (Resiprene-c) nya Busse – yang dulu dipakai di Basic series nya Busse. Bahan sintetik yang kuat diabuse dan “molded” ke tangan usernya. Saya menyukai bahan ResC ini karena ia menyerap getaran saat dipakai batoning/chopping dan ini membuat tangan tidak sakit.

“Light task”, bolongi dan belah kelapa

Untuk ergonomi handle, Howling Rat ini punya handle yang menurut saya cocoknya untuk ukuran tangan medium saja… karena di tangan saya, terlalu kecil handlenya. Kecuali saat saya menggenggam pisau dengan choking up ke choilnya, baru terasa pas handlenya.

Perbandingan dengan pisau yang handlenya lebih pas untuk tangan saya

Tapi, anehnya handle ini nagih… saya pernah punya Busse Basic 13 (dan dipinjami Basic 7 sama om Setanis), handlenya sama persis. Mungkin karena bahan ResC tersebut? Atau lainnya, saya tidak tahu. Yang jelas saya sendiri masih sangat tertarik dengan Bussekin dengan handle Basic. Too bad udah terlalu overpriced sekarang.

Dipake nyembelih ikan dan apel

Baja: SR-101. Baja yang cukup sering muncul di lini Swamp Rat. Kadang ada INFI, tapi sepertinya saya belum pernah tahu ada Swamp Rat pake SR-77… cmiiw. Pada dasarnya SR101 adalah versi Busse atas baja ball bearing, AISI 52100. Pada saat saya mencoba Howling Rat, SR101 terbukti mampu mempertahankan ketajamannya setelah digunakan untuk memotong kayu bakar semalaman.

“Kayu bakar semalaman”, Di potong (chop) pakai Howling Rat, cape om
AISI 52100 vs SR101 – credit Zknives.com

Nah dibandingkan dengan katakanlah 1095 nya ESEE (yang pernah saya pakai untuk task serupa), komparasinya jauh. Namun jika perbandingannya Enzo Camper saya yang pakai baja D2, SR101 lebih cepat tumpul ketimbang D2 saya tersebut dengan pemakaian yang sama. Tapi D2 nya ada kena microchipping banyak 🤭

Bilah endut, oke buat belah kelapa jadi 2

SR101 Howling Rat ini, meskipun demikian, unggul di toughness nya. Dia punya preferensi toughness mirip 1095 namun ketahanan tajam D2. Yaa best of both istilah yang pantas ya? Dan utamanya, mengasah SR101 ini mudah sekali. Tidak sesulit D2.

Untuk sheath… Bussekin tidak dijual include dengan sheath. Tapi pisau pinjaman om Tomo ini sudah ada sheath kydex yang saya cakep, kalau ga salah cap Azwelke ya?

Strapped
Partner camping 2 hari di Pulau Kei Panjang, Kep. Auri – TNTC

SR101 karena yaa versi modifikasi dari 52100… secara otomatis ini adalah carbon steel. Mudah berkarat. Namun tidak semudah karat di 1095…

Saya sempat nyemplung ke air laut dengan pisau ini.

Dan untungnya karena pisau ini saya terima dalam kondisi somewhat satin finish, tidak sulit pula membersihkannya dari karat. Steelwool + WD 40, sudah kinclong kembali.

Habis dibersihkan

Yang menarik juga dari pisau ini, adalah garansinya. Prinsip kerjanya sama dengan parent company nya, Busse Combat. No question asked warranty. Pisau nya patah, bengkok, rusak, mereka akan ganti. Well saya belum pernah mencoba garansi tersebut sih, cuma setidaknya se pede itu Swamp Rat Knife Works menjamin pisaunya.

EDC selama camping: Spyderco Paramilitary dan SwampRat Howling Rat

Konklusi:

Saya sangat kepingin punya lagi pisau Busse atau anaknya yang pakai handle Basic ResC nya. Idealnya seukuran Howling Rat ini, sebagai alternatif fixed blade camping saya. Namun harga cukup tinggi dan saya masih ada pe er nyari set-up sheathnya, menjadikan pisau ini cukup ada di wishlist, karena banyak pisau yang, lebih terjangkau, sudah lengkap pula paketnya.

Review: Spyderco Astute

Spyderco Astute

Pada tahun 2020 Spyderco Reveal mengumumkan akan mendebutkan model baru untuk lini Value Folders mereka dengan nama Astute. Value folders maksudnya pisau ini akan dibanderol dengan harga murah…. murahnya wong amrik beda ya sama murah nya kita ini.

Kok bisa “murah”, karena diproduksi di China, dengan baja 8Cr13MoV. Linerlock stainless, dengan scales G10. Banderol di bawah USD 50. Kalau ini diproduksi di Taiwan mungkin bisa 70 80 dolar kali ya.

Tapi biar begitu, Astute memiliki fit dan finish yang apik. Kerapiannya, ya lebih rapi daripada Persistence yang sempat saya miliki beberapa tahun lalu. Jika tidak dikasih tahu ini buatan China, saya bisa jadi menebak ini dibuat di Seki, Jepang. Pisau ini sendiri memiliki cerita yang menarik dari buklet yang menyertai pisau ini:

Didesain oleh arsitek Hungaria, Gabor Szakonyi, saat dikirim ke Spyderco awalnya desain ini dinamai ‘Mo’, nama istri si desainer. Karena Szakonyi berpikir ini adalah desain untuk pisau EDC sempurna untuk kebutuhan istrinya. Spyderco mengembangkan desainnya sehingga pisau ini kemudian dapat melakukan lebih banyak hal lagi. Hasilnya adalah pisau lipat yang terjangkau, mudah di EDC siapapun, berukuran ringkas seperti Kershaw Leek.

Terjemahan lepas dan singkat dari buklet Spyderco Astute

Bilah Astute, memiliki panjang mata potong kurang lebih 7.5 cm, dengan tebal spine 2.5 mm, konfigurasi full flat grind. Cukup banget untuk pekerjaan ringan sehari-hari, tapi bukankah mayoritas penghobi pisau kerja pisaunya ringan ringan yak? (Seperti saya 😉 )

Spyderco Astute vs GM Ace Biblio.

Bilah pada Spyderco ini juga memiliki komparasi dengan handle yang baik. Foto diatas Astute disandingkan dengan Ace Biblio yang memiliki dimensi nyaris sama, namun Astute memberikan mata potong 1 cm lebih panjang.

Dibawa survey jalan Trans Papua

Untuk handle, jujur disini hal yang membedakan Astute dengan value folder Spyderco yang lain. Khas banget lekukannya. Ukuran, karena ini pisau “middle sized”, saya bermimpi Spyderco mengeluarkan kembali Astute versi sedikit lebih besar (120% nya lah) supaya bisa akomodir tangan saya lebih nyaman lagi.

Komparasi ukuran Astute dengan Ace Biblio

Sebaliknya, istri saya bilang kalau handle Astute perfect. Akhirnya Astute saya sembunyiin biar ngga dia ambil… oh ya, tangan saya pake sarung tangan karet/nitrile gloves size XL, istri pakai M. (Nah mas Yen, cucok sepertinya Astute buat njenengan)

Ukuran Astute di tangan saya

Pun ‘kekecilan’, hingga hari ini belum ada komplain berarti dari ergonomi Astute ini. Sesuai dengan yang saya sampaikan diawal, Astute lebih banyak saya pakai untuk pekerjaan ringan, di kantor, dan di rumah, kebanyakan soal membuka bungkus makanan, mengupas buah, dan semacamnya. Posisi clip pada pisau ini tidak mengganggu genggaman bagi saya.

Perbandingan Astute dengan Urban

Setelah menggunakan pisau ini sebagai bagian EDC selama 2 bulan terakhir, Astute yang tadinya saya rasa kecil menjadi terasa lebih besar. Ukuran segini, kembali saya ulangi, sempurna untuk EDC harian.

Pada akhirnya saya rasa Astute terbit sebagai penyegaran di lini Value Folders Spyderco yang selama ini modelnya buat saya membosankan. Pisau lipat kecil dengan harga yang (relatif) murah, tapi masih terjangkau bila memang niatnya beli pisau user. Bukan untuk dipajang, tapi untuk dipakai.

Review: Spyderco Military

Spyderco Military

Salah satu fakta menarik soal Spyderco Millie (panggilan sayang untuk model Military) adalah pisau ini didesain untuk menjawab pertanyaan kepada Sal, owner Spyderco, “Pisau lipat apa yang kamu bawakan untuk anakmu jika dia enlist di military service”.

Dan Millie pun pada awalnya (mungkin ya sampai sekarang) masih cukup ‘kontroversial’ karena bisa dibilang unik dan tidak ber’pakem’ pada tactical folder modern= bilah tebal, bisa buat tusuk dan semacamnya lah. Military model memiliki bilah relatif tipis, bilah panjang dengan mekanisme linerlock. Terkesan pisau lipat normal dengan lubang dan punuk khas Spyderco.

Military dengan Emerson Wave mod

Saya ingat pernah membaca balasan Sal kepada kritik atas model Military, bahwa millie didesain untuk keperluan “EDC” di lapangan. Pisau lipat hendaknya untuk keperluan lebih utilitarian, seperti membuka bungkus MRE; dan pisau tersebut harus ringan supaya nyaman dibawa operator.

G10 Millie CPM Cruwear

Saya sendiri, jika harus memilih 1 pisau ‘do it all’ dari Spyderco.. saya akan memilih Millie. Model ini merupakan model favorit saya, karena simplisitasnya… saya suka segalanya tentang pisau ini dan karena itu mungkin jadi agak bias ya repiu kali ini.

Military, fun 2 mod.

Soal baja pada pisau, well Millie adalah salah satu platform sprint run; dan pilihan bajanya banyak. Kalau versi pabrikan, saat ini yang ada S30V, meskipun dengar-dengar dalam waktu dekat semua baja “standar” Spyderco akan di ganti ke CPM S45VN. Lagi, tidak ada yang salah dengan CPM S30V sendiri, hanya menurut saya baja CPM Cruwear adalah baja paling ideal untuk pisau ini.

Tool steel : 52100 di Millie sprint run

Alasannya tentu saja performa dan secara personal saya lebih suka tool steel ketimbang stainless. Ya ada juga ‘rasa’ lain yang masih mudah dicari misalnya S110V.

Military 52100 Sprint Run

Handle, Millie sendiri punya edisi “premium” yang sayangnya udah di diskontinyu. Bahan handle titanium, ada yang plain, ada yang bercorak. Tapi disini saya lebih prefer G10 atau micarta, karena lebih suka tampilan dan gripnya (dan berat nya juga, jadi ringan).

Pretelan Military

Millie menggunakan nested liners, dan ini merupakan keputusan yang saya rasa baik karena mengurangi bobot keseluruhan pisau (berat 1 unit Military hanya 128 gram! Sementara Endura 4 FRN, 103 gram).

Perbandingan ukuran Endura 4 – Police 4 – Military

Ergonomi Millie boleh dibilang cocok untuk saya yang memiliki tangan besar (gloves saya L-XL). Ada cukup ruang untuk beragam grip, choked up, hammer grip, dll menurut saya nyaman.

Pun Spyderco pernah dikritik mengenai pilihan menggunakan Walker Linerlock. Kenapa tidak sekalian menggunakan Framelock. Bagi saya yang fan berat Framelock, menurut saya linerlock aja udah sangat cukup, karena boleh saya klaim Liner lock di unit Military merupakan salah satu linerlock terbaik yang pernah saya rasakan di pisau lipat.

Kemudahan akses linerlocknya

Mudah diakses, ringan, dan zero vertical bladeplay. Versi titanium dari Military menggunakan framelock (meskipun tetap pake nested liner stainlessnya), kalau lebih suka framelock. Bagi sebagian orang kemudahan akses terhadap kunci liner ini nggak disukai. Ada kemungkinan tanpa sengaja buku jari menekan lepas kuncian pisau. Ya, saya sendiri belum pernah mengalaminya selama menggunakan pisau ini, saya rasa bukan masalah yang besar.

Tip down is the way untuk Millie

Clip: banyak orang yang menganggap opsi tip-down only seperti di Millie nyebelin. Secara personal, saya merasa beberapa pisau harus tip down, mayoritas harus tip up… dan Millie, buat saya pantasnya tip down. Saya punya 1 Millie yang saya mod emerson wave dan buat tip up untuk akses Wave opening, tapi yah, cuma 1 pisau itu aja. Millie saya yang lain tetep tip down.

Tip up + Emerson Wave mod pada Military (atas)

Sebenernya salah satu alasan saya menyukai clip default Military, dengan clip ini saya mudah sekali mengakses pisau dari kantong celana kargo atau jeans saya seperti foto diatas. Pun, clip tersebut lebih kokoh ketimbang clip hourglass seperti di Paramilitary 2 atau Endura 4, dan menambahkan grip pada handle. Poin terakhir: keberadaan clipnya menambah permukaan pisau, jadi lebih ngepas di telapak saya saat menggenggam. Hal sama, saya juga temui di Ontario RAT Model 1, pisau lain yang saya lebih suka opsi tip downnya.

Mule – Military – LM Surge

Banyak pula yang merasa platform Military butuh versi 2.0. Cukup lama model Military namanya dari dulu ya Military aja. Paramilitary saja sudah ada versi pembaruannya Paramilitary 2 kan. Military 2 = harapannya ngerubah linerlock jadi compression lock. Entah akan diwujudkan Spyderco atau tidak. Keluhan saya atas Compression Lock adalah sedikit ‘tricky’ untuk dimainin saat pakai gloves. Ya nggak tiap hari tiap saat juga sih saya pake gloves ya.

Meski demikian, Spyderco terus menerus melakukan C.Q.I kepada model ini, dan itu cukup buat saya…

Akhir kata, saya cuma bisa bilang, jika anda suka pisau besar, bisa mempertimbangkan Military. Simpel, ya agak lucu bentuknya, tapi siap kerja. Buat EDC overkill? Mm, kalau di hutan ya nggak juga.

Rancang situs seperti ini dengan WordPress.com
Ayo mulai